William Addis pada tahun 1770 dimasukkan ke dalam penjara karena terlibat kerusuhan. Walau harus terkurung di dalam penjara besi, William Addis tidak membiarkan pikirannya ikut terkurung bersama raganya. Justru di sanalah ia memeroleh ide untuk membuat sikat gigi. Tulang-tulang sisa makanan ketika di penjara, dijadikan sebagai gagang sikat gigi. Tulang-tulang tersebut dilubangi kecil-kecil, yang nantinya akan dimasukkan bulu-bulu binatang yang ia peroleh dari penjaga penjara. Jika orang terdahulu menggunakan tali atau sejenisnya sebagai bahan terakhir dalam pembuatan sikat gigi, William menggunakan lem sebagai bahan terakhirnya. Lem dapat membuat bulu-bulu binatang merekat di tulang yang telah dilubangi. Dengan demikian, bulu-bulu tersebut tidak mudah lepas, sehingga pemakaian sikat gigi dapat bertahan cukup lama. Kabarnya setelah keluar dari penjara, William memproduksi lebih banyak temuannya itu. Pada tahun 1780, William Addis tercatat sebagai orang pertama yang menciptakan sikat gigi dalam jumlah yang banyak. Ia berhasil menjadi seorang miliarder.
Hampir sama dengan kisah William di atas, meski raga terkurung di dalam penjara, tidak lantas membuat hati dan pikiran rasul Paulus ikut terkurung pula. Terbukti selama berada di dalam penjara, rasul Paulus masih tetap dapat menyapa jemaat Tuhan melalui tulisan-tulisannya.
Raga kita mungkin tidak terkurung, tetapi bagaimana dengan pikiran kita? Keadaan yang tidak baik seringkali membuat kita mengeluarkan kata-kata pesimis yang pada akhirnya tidak hanya mengurung pikiran tetapi juga membelenggu, bahkan melumpuhkan pikiran kita, sehingga kita tidak dapat melangkah maju. Apapun keadaan kita saat ini, jangan biarkan keadaan tersebut menentukan pikiran kita. Sebaliknya, biarkan pikiran kita yang menentukan keadaan, akan menjadi seperti apa dan bagaimana. Dengan demikian kita akan dapat tetap berkarya bagi Tuhan serta sesama. Tuhan Yesus memberkati.
Bacaan: Filipi 4:8-9 "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu."
Doa:
Tuhan Yesus, arahkanlah selalu hati dan pikiranku kepada-Mu, agar dalam situasi dan kondisi apapun, aku dapat tetap berkarya bagi-Mu. Amin.
(Matius 6:34)
Banyak orang-orang yang membuat pembenaran dengan berkata: “ Wajar kita khawatir, kita khan masih manusia.” Pembenaran tersebut bukan tanpa alas an; mereka berfikir dan bahkan meyakininya bahwa manusia ituh seba lemah kedagingannya. Jadi mereka membuat pembenaran yang berdasarkan seolah-olah pengakuan iman.Suatu saat pengakuan iman ituh memang tidak dilandasi dengan kerendahan hati yang tulus; yang terjadi adalah perwujudan iman yang negatif.
Semakin sering kita memikirkan atau membayangkan kekuatiran kita, maka akan semakin nyata kekuatiran itu di dalam pikiran kita. Sekali lagi, padahal hal tersebut sama sekali belum terjadi, dan kemungkinan tidak akan terjadi. Sedihnya lagi beberapa orang, bahkan banyak orang berfikir bahwa pergumulan hari ini akan terus ada sampai besok. Cara pandang kita menangani pergumulan itu menentukan kapan selesainya masalah tersebut. Jika kita terus membiarkan diri kita kuatir, pergumulan itu akan terus mengganggu kita. Namun jika kita menentukan pilihan untuk percaya kepada Tuhan, kita pasti menemukan jalan keluar.
Matius 6:34; Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Dari penggalan ayat ini saja kita sudah dijamin oleh Tuhan, bahwa kesusahan yang ada tentu datang hanya untuk sehari saja. Akan tetapi kembali lagi pada iman kita pribadi: Apakah kita berani mengimani hal tersebut? Ataukah sebaliknya, kita semakin tenggelam dalam kesusahan itu. Salah satu rekan malah mempertegas: “Apakah kita ma uterus berkubang pada masalah dan kesusahan ituh? Atau jangan-jangan justru kita menikmati berkubang tersebut?”
“Tuhan kuserahkan seluruhnya penggenapan hidupku sepanjang hari ini, aku sudah mengerahkan segala yang aku punya, logika piker , keterampilanku, budiku dan segenap kekuatanku, kupersembahkan seluruh usahaku padaMu ooh Tuhanku yang Maha Kuasa, kini jadikanlah aku kuat untuk menuai hasilnya yang seturut kehendakMu.”
Penulis
Tim SMA TALENTA
Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
- Matius 18:22
Secara manusiawi, membereskan akar pahit akibat disakiti lebih sulit daripada membereskan akar pahit karena menyakiti orang lain. Namun, apabila rasa sakit itu dibiarkan, perlahan tapi pasti akan merusak diri sendiri. Dimulai dengan munculnya rasa benci, hilangnya sukacita, terhambatnya pertumbuhan rohani, dan dampak-dampak lainnya. Solusi terbaik untuk membereskan akar pahit di dalam hati adalah dengan melepaskan pengampunan.
Petrus, salah satu murid Yesus yang lantang, pernah berbicara tentang pengampunan. Ia bertanya kepada Yesus, “Berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Sangat mungkin Petrus dulu pernah disakiti berkali-kali oleh orang yang sama sehingga terucaplah pertanyaan ini dari bibirnya. Petrus berpikir dirinya sudah murah hati saat mengatakan tujuh kali. Maklum zaman itu, rabi-rabi mengajarkan pengampunan cukup diberikan tiga kali. Lebih dari itu maka tidak ada keharusan. Petrus berpikir dirinya akan dipuji karena kemurahannya, tetapi Yesus menanggapinya berbeda. Memberi pengampunan seperti yang diajarkan Yesus bukan sampai tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali. Artinya, pengampunan diberikan tanpa dibatasi jumlah.
Melepaskan pengampunan secara manusiawi bukan hal yang mudah, apalagi jika orang yang menyakiti adalah orang yang sangat dekat dan melakukannya berulang kali. Ingatkah Anda kutipan Roma 5:15 berikut, “... jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah ...” Sebagai orang percaya, Anda telah menerima kasih karunia Allah. Pengorbanan Yesus di atas salib telah mengampuni seluruh dosa Anda, mengapa kita tidak bersedia mengampuni kesalahan orang lain yang secuil itu? Coba bayangkan dosa selama Anda hidup di dunia. Apakah bisa kita menghitungnya? Jawabannya pasti tidak. Kesalahan orang yang menyakiti kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pelanggaran kita terhadap Tuhan. Namun, Dia tetap mengampuni kita.
Sebagai orang yang telah menerima dan merasakan kasih karunia dari Allah, sudah semestinya kita menyalurkan kasih karunia itu kepada orang lain. Memberi pengampunan adalah salah satu bentuk pernyataan syukur kita terhadap kasih karunia Allah. Jangan sampai kita seperti hamba jahat pada bacaan ini.
Refleksi Diri:
- Apakah ada akar pahit di dalam hati kita terhadap orang yang pernah menyakiti kita?
- Sudahkah kita mensyukuri kasih karunia yang Tuhan Yesus limpahkan dengan mengampuni orang yang bersalah kepada Anda?
Buatlah Hidup Orang Lebih Hidup
Yohanes 4:4-42
Tetapi barang-siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal!
- Yohanes 4:14
Dalam konteks Yohanes 4, Tuhan Yesus menuntun wanita Samaria, dari kebutuhan akan hal-hal jasmani kepada kebutuhan akan hal yang jauh lebih penting, yakni rohani. Sementara bercakap-cakap, Yesus mendemonstrasikan kasih dan kuasa-Nya sehingga wanita itu mengalami aliran air hidup sehingga ia berkata, “Mari lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (ay. 29). Wanita ini sungguh percaya bahwa Yesus adalah Tuhan Mahatahu yang telah mencelikkan mata rohaninya sehingga tidak ragu untuk bersaksi. Hasilnya, banyak orang di Samaria jadi percaya kepada Yesus. Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” (ay. 39).
Inilah metode Kristus yang selalu ingin membuat pribadi manusia merasa lebih hidup karena telah berjumpa dengan esensi kehidupan sejati. Pekerjaan-Nya sebagian besar terdiri dari percakapan pribadi. Dia menghargai pendengar satu jiwa. Melalui satu jiwa seringkali meluas sampai ke banyak jiwa. Yesus selalu peduli terhadap mereka yang memerlukan pertolongan-Nya. Dia mengunjungi rumah orang-orang, menghibur yang berduka, menyembuhkan yang sakit, membantu yang ceroboh, dan melakukan kebaikan-kebaikan kasih.
Jika kita adalah pengikut Kristus maka kita akan mengikuti teladan-Nya. Pertama, buatlah hidup orang lain lebih hidup sehingga lebih berarti, seperti yang Yesus lakukan kepada wanita Samaria. Kedua, hargailah setiap pribadi. Tuhan tidak memandang rendah wanita Samaria yang memiliki lima suami dan dianggap rendah oleh masyarakat pada zaman itu. Orang yang dihargai, semangatnya akan tumbuh.
Coba perhatikan orang-orang di sekitar Anda, mereka yang kehilangan semangat, yang putus asa, pesimis, merasa tidak berharga, dan tidak berarti. Kunjungi mereka, sapa dengan kasih yang murni dan tolonglah semampu Anda. Dengan demikian Anda telah meneladani Krsitus, yang membuat hidup orang lain terasa lebih hidup dan berarti sehingga kita bisa berharap mereka mengenal Juruselamat bahkan menjadi agen kasih Allah bagi dunia yang terluka.
Salam membuat hidup orang lebih berarti.
Refleksi Diri:
- Bagaimana kita bisa membuat hidup orang lain lebih hidup seperti yang diteladankan Yesus Kristus?
- Apa tindakan nyata yang bisa kita lakukan yang melaluinya orang lain bisa merasakan kasih Kristus?
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.
- Amsal 1:7
Setiap hari kita dihadapkan pada pilihan hidup. Pilihan yang kita punya antara benar atau salah, boleh atau tidak, baik atau buruk. Di dalam hidup yang singkat ini seringkali kita menyesal karena salah memilih. Kita memerlukan hikmat, yaitu pengetahuan, kebijakan atau pemahaman tentang situasi dan kondisi sehingga bisa mengambil keputusan yang terbaik.
Amsal mengajarkan bagaimana bisa memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan hidup yang ada. Salomo, sang penulis Amsal, menyampaikan bahwa hidup di dunia dengan hikmat yang diberikan Tuhan merupakan kunci untuk dapat menjadi orang yang bijaksana dan berhikmat sehingga tidak salah memilih. Kunci untuk mempunyai hikmat adalah takut akan Tuhan. Mengapa takut akan Tuhan menjadi permulaan pengetahuan?
Pertama, karena Tuhan adalah sumber hikmat. Hikmat Allah tidak terbatas dan semua keputusan-Nya adalah keputusan terbaik karena didasarkan pada kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya. Orang yang takut akan Tuhan menyadari keberadaan Tuhan dan selalu mencari-Nya. Saat ia mencari Tuhan dan meminta petunjuk, maka petunjuk yang terbaik akan diberikan.
Kedua, dapat memilih yang benar, baik, dan berkenan kepada Allah. Seorang yang takut akan Tuhan selama hidup ingin selalu mencari perkenan Tuhan. Ia tidak ingin menyakiti hati Tuhan atau minimal hidup dengan kesadaran takut berbuat dosa. Seorang yang takut akan Tuhan memberikan hidupnya bagi Tuhan, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Hidupnya tidak mengikuti pola dunia yang mencari kenikmatan dunia dan kedagingan, serta mengejar harta dan kesuksesan dengan segala cara, bahkan sampai menindas dan berbuat kejahatan.
Hendaklah hidup takut akan Tuhan karena dengannya kita dapat memilih mana yang baik, yang benar, dan yang berkenan kepada Allah. Janganlah memilih keputusan didasari oleh nafsu kedagingan, keserakahan dan keegoisan kita. Letakkan semua pilihan hidup di bawah otoritas Allah sehingga dapat memilih yang terbaik bagi kita. Carilah kehendak-Nya melalui firman Tuhan, teruslah mencari petunjuk-Nya melalui doa, dan pekalah mendengar suara Tuhan yang menuntun kita kepada pilihan yang terbaik sesuai dengan kebenaran-Nya.
Refleksi Diri:
- Belajar dari pengalaman Anda yang pernah salah mengambil pilihan hidup, sudahkah Anda sekarang memintakan hikmat dan pengetahuan dari Tuhan?
- Sebagai orang yang takut akan Tuhan, apakah Anda sudah mencari perkenan Tuhan dalam setiap pilihan hidup yang Anda ambil?
(Sebuah refleksi)
Pada saat ini, tepatnya hari Selasa 13 April 2021, saudara-saudari kita yang beragama Islam memasuki bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim selama bulan Ramadhan ini adalah menunaikan ibadah puasa. Umat Kristiani pun memiliki kebiasaan berpantang dan berpuasa. Kebiasaan berpantang dan berpuasa bagi umat Kristiani dilakukan selama masa Prapaskah.
“Mengapa umat Muslism dan Kristiani wajib (berpantang dan) puasa?” Pertanyaan ini baik untuk direnungkan agar kita dapat menemukan hakikat/makna dari kegiatan tersebut. Jangan sampai kegiatan pantang dan puasa yang dilakukan hanya sebatas untuk menjalankan aktivitas keagamaan belaka, tanpa memahami makna yang sesungguhnya dibalik kegiatan pantang dan puasa itu.
Sejauh yang penulis pahami, pelaksanaan pantang dan puasa bermuara pada upaya kita untuk memperbaharui diri agar “menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta dan sesama kita”. “Menjadi lebih dekat” kepada Sang Pencipta berarti kita menjadi “Imago Dei” yakni manusia yang menjadi gambaran/ citra/ rupa Allah sendiri; pribadi yang hidup murni seturut kehendak Allah sedangkan “menjadi lebih dekat dengan sesama” berarti kita sungguh-sungguh mau ambil bagian dalam kehidupan sosial/ bersama, dengan melakukan aksi nyata dengan maksud supaya kehidupan bersama itu menjadi lebih baik. Dalam upaya menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik itulah, kemudian kita umat beragama melakukan aksi belarasa (sedekah/derma/APP) dengan mereka yang kecil, miskin, dan berkekurangan. Tindakan tersebut merupakan tanda solidaritas kita terhadap sesama, sekaligus perwujudan dari IMAN kita kepada Allah. Itulah makna puasa yang sesungguhnya.
Melihat kenyataan saat ini, penulis meyakini bahwa masih banyak umat beragama yang kurang memahami hakikat/ makna dari pantang dan puasa. Mereka masih terjebak dalam rutinitas untuk menunaikan kewajiban keagamaannya. Karena itu, penulis menganggap perlu untuk melakukan upaya-upaya menanamkan pemahaman kepada segenap umat bergama tentang makna puasa yang sesungguhnya. Penanaman akan makna puasa yang sesungguhnya pada akhirnya akan menghantar kita menjadi manusia beragama yang religius dan beriman secara benar. Selamat merenungkan. (Pace/SMA Talenta)
VIRUS CORONA Versus SISI KEMANUSIAAN dan IMAN
Sejak Bapak Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi perihal keberadaan virus corona di Indonesia pada awal maret tahun 2020, masyarakat Indonesia mulai menggeliat kepanikan. Geliat kepanikan masyarakat itu terlihat jelas ketika tua-muda, besar-kecil, beramai-ramai memborong sembako, masker, handsanitizer, dsb dengan dalil membentengi diri dari serangan virus corona yang mematikan. Sungguh mengagumkan, virus corona yang tak kelihatan itu ternyata mampu membuat nyali masyarakat Indonesia ciut alias mengkerut. Ia tidak saja menyerang dan membunuh fisik manusia, tetapi sekaligus menyerang mental dan hati nurani manusia yang selama ini tidak tersentuh. Dampaknya, mansyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai masyarakat yang ramah, humanis, kini berubah menjadi manusia yang egois, serakah dan tidak peduli pada sesamanya. Masyarakat Indonesia kini menjadi “serigala bagi sesamanya”.
Selain memudarnya sisi kemanusiaan masyarakat Indonesia, hal lain yang tidak kalah miris adalah persoalan seputar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh sejumlah institusi terhadap sejumlah karyawan atau pegawainya. Tindakan yang diambil oleh institusi atau perusahaan lebih didasarkan pada perhitungan bahwa jumlah pemasukan/income perusahaan berkurang, tak sebanding dengan biaya operasional. Karena itu tindakan “merumahkan” karyawan dianggap sebagai solusi paling “tepat” untuk mengatasi persoalan ini. Miris rasanya … . Ketika segala sesuatu dipertimbangkan dengan perhitungan untung rugi, sudah pasti ada pihak yang harus dikorbankan, termasuk manusia itu sendiri. Dalam kasus ini, nilai manusia tidaklah lebih tinggi daripada nilai sebuah barang. Manusia hanya akan diperhitungkan jika memberikan nilai produktif dan sebaliknya akan disingkirkan bila dianggap tidak produktif! Sadis…
Persoalan tidak berhenti di situ saja. Para karyawan yang telah kehilangan pekerjaan dan penghasilan tersebut, juga harus kehilangan harga diri/jati diri, kehilangan identitasnya sebagai seorang manusia. Bagaimana tidak, kerja adalah ciri hakiki hidup manusia. Dengan bekerja, seseorang akan merasa dirinya berharga di tengah keluarganya maupun masyarakat. Maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat kita sering menyempilkan julukan “sampah masyarakat” kepada mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Julukan itu seakan mau menegaskan bahwa kerja identik dengan identitas seseorang, identik dengan harga diri/jati diri seseorang. Jadi, ketiadaan pekerjaan berarti ketiadaan harga diri, jati diri/ identitas manusia sebagai seorang manusia!!
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, tidak jarang manusia kemudian mempertanyakan di mana letak Kemahakuasaan Allah. Pertanyaan ini sangat manusiawi mengingat dalam kondisi seperti ini, manusia sedang berada di titik nadir dalam kehidupannya. Manusia tidak berdaya, lemah, tak mampu berbuat apapun selain hanya berharap kepada bantuan dan belas kasihan Allah. Lantas dimanakah Allah?
Menjawab pertanyaan di atas memang tidaklah mudah karena pertanyaan ini berkaitan dengan iman atau kepercayaan diri seseorang akan eksistensi Allah. Namun apabila kita mau “bercermin” pada pengalaman hidup para nabi atau tokoh yang ada dalam Kitab Suci, bisa jadi kita akan menemukan jawabannya di sana.
Sebagai contoh Nabi Elia dalam kitab 1 Raj. 19 : 1 - 21. Di sana diceritakan, saat itu Nabi Elia sedang berada dalam situasi yang sulit. Ia bersembunyi karena nyawanya sedang terancam oleh para penyembah Baal. Dalam ketakutannya itu, Allah hadir menyatakan diri-Nya kepada Nabi Elia di gunung Horeb. Dalam perjumpaan itu, Allah meneguhkan iman Nabi Elia sehingga Nabi Elia akhirnya berani keluar dari persembunyiannya dan pergi untuk mewartakan tentang kebesaran Allah Yahwe.
Ayub dalam kitab Ayub 1 : 1 - 22. Di sana dikisahkan bagaimana Ayub ditimpa “kesialan” bertubi tubi, mulai dari kehilangan harta benda, kehilangan anak-anaknya yang dikasihinya, bahkan ia sendiri menderita penyakit parah. Kendati demikian, Ayub tidak menyalahkan atau mengutuki Allah atas semua peristiwa itu. Ia menerima semua peristiwa itu dengan ikhlas, bahkan berseru: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!". Sebuah ungkapan iman yang dalam dari seorang Ayub, hamba Allah. Dan sebagai balasannya, Allah Yahwe menganugerahinya dengan berkat melimpah melebihi dari apa yang ia miliki sebelumnya.
Dan pada akhirnya, Allah sendiri menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus, Putera-Nya. Dalam dan melalui Yesus, Putera-Nya, Allah menunjukkan keberpihakan dan belas kasih-Nya kepada manusia. Melalui berbagai mukjizat seperti: membangkitkan Lazarus yang telah mati, memulihkan mata orang buta, membuat yang lumpuh bisa berjalan, mengampuni wanita yang berdosa, meredakan angin ribut, dsb, Allah hadir menyatakan kekuasaan-Nya. Puncaknya, Yesus, Putera Allah sendiri rela menderita sengsara dan wafat di kayu salib demi menebus dosa-dosa kita manusia.
Pertanyaannya: “Apakah kita masih meragukan ALLAH kita??” “Bukankah Allah masih menganugerahi kita dengan rahmat kehidupan sampai detik ini??” “Bukankah Allah masih memberikan kita rejeki sampai saat ini??”
Yang harus kita ingat adalah bahwa: Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Allah senantiasa beserta kita dan Allah akan menunjukkan kemahakuasaan-Nya kepada mereka yang ber-IMAN kepada-Nya. Syaratnya: tetap percaya dan berpasrah kepada Allah, baik dalam suka maupun dalam duka. Selamat merenungkan. (Carlos/SMA Talenta).
Anak-anak yang terkasih, pada hari ini kita mulai memasuki pertemuan APP yang pertama. Tema besar APP tahun ini yaitu Semakin Beriman Solider. Pertemuan pertama ini, kita diajak untuk melihat dan mengenal situasi kehidupan ekonomi di keluarga maupun lingkungan sekitar secara khusus di masa pandemi Covid 19. Kita diajak merefleksikan pengalaman hidup solider kepada sesama kita yang membutuhkan bantuan kita.
Di masa Pandemi covid 19, sebagai remaja, kita dipanggil untuk membangun ekonomi yang solider, misalnya kita tetap di rumah saja untuk mengurangi penyebaran covid 19, memahami keadaan ekonomi orang tua, kita dengan ikhlas menyumbangkan uang tabungan, menyisihkan uang jajan, memberi makan bagi yang berkekurangan, memberikan bahan atau kebutuhan pokok kepada sesama kita yang memerlukan uluran tangan kita. Semua itu kita lakukan demi mewujudkan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan melalui semangat solider.
“Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristusdan kamu masing-masing adalah anggotanya.
(1 Korintus 12:26-27)
Roma 8:18-30
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
- Roma 8:28
Serangkai kalimat dari sebuah film yang saya tonton, menarik perhatian saya: kita hanya melihat apa yang mau kita lihat. Kenyataan hidup juga demikian. Di dalam situasi sulit, kita mungkin terlewatkan melihat yang penting, yaitu keterlibatan Tuhan, sehingga sering membuat kita larut dalam kegelisahan dan ketakutan.
Dari Roma 8:28, setidaknya kita bisa melihat dua sisi keterlibatan Allah dalam situasi sulit. (1) Allah terlibat dalam semua aspek kehidupan kita, baik dalam hal-hal kecil, maupun keputusan-keputusan besar dalam hidup kita. “Segala sesuatu” berarti bukan hanya hal-hal baik, tetapi termasuk hal-hal buruk yang kita alami, Allah turut bekerja di dalamnya. Allah terlibat dan memakai segala situasi di dalam rencana-Nya, sehat sakit, mendapat kehilangan, kecukupan kekurangan, tertawa menangis. Tidak ada yang kebetulan. John Newton seorang pendeta dan penulis abad 18 menulis surat penggembalaan kepada seorang perempuan yang sedang bersedih: Saat Anda tidak bisa melihat jalan Anda, puaslah dengan melihat Dia sebagai pemimpin Anda. Saat jiwa Anda terasa berat, Dia tahu jalan Anda: Dia tidak akan membiarkan Anda tenggelam.
(2) Allah mendatangkan kebaikan. Jika kita mengenal seseorang yang punya kuasa dan jabatan tinggi yang menentukan hidup kita, tetapi tidak mengetahui bagaimana isi hatinya, itu akan membuat kita tidak tenang. Kita akan berspekulasi mengenai nasib kita di tangannya. Namun, Allah yang kita percaya adalah Allah yang baik. Tujuan akhir Allah untuk anak-anak-Nya adalah kebaikan. Kebaikan Tuhan sangat terbukti ketika Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib. Tidak ada kebaikan yang melampaui kebaikan pengorbanan ini. Dia rela menderita dan mati untuk kita orang berdosa.
Situasi sulit sering membuat kita tidak bisa melihat keterlibatan Tuhan Yesus yang selalu mendatangkan kebaikan. Kiranya di tengah pergumulan yang belum selesai, kita tetap percaya bahwa Allah itu baik dan Dia turut bekerja dalam segala situasi. Saat kita bisa melihat keterlibatan Tuhan maka tepat seperti yang Timothy Keller katakan mengenai Roma 8:28, yaitu suatu penghiburan yang tiada bandingnya bagi orang percaya.
Refleksi Diri:
Apa alasan utama kita mengatakan bahwa Tuhan Yesus itu baik dan selalu punya rencana mendatangkan kebaikan di dalam setiap situasi?
Bisakah kita melihat hal-hal yang tak terlihat dalam hidup kita sebagai pemeliharaan dan penghiburan Tuhan? Apa saja?
Angin Sepoi-sepoi Basa
1 Raja-Raja 19:9-18
Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.
- 1 Raja-raja 19:12
Angin sepoi-sepoi basa? Angin seperti apa itu? Angin yang berhembus lembut, halus, bertiup perlahan-lahan, dan silir semilir. Ayat ini menyampaikan bahwa sebelum ada angin sepoi-sepoi basa didahului dengan angin besar (ay. 11), gempa besar, dan api. Namun, Elia tidak menemukan Tuhan di sana. Elia justru menemukan Tuhan pada angin sepoi-sepoi basa yang bertiup halus dan lembut itu. Lho kok gitu?
Apa maksud dari ayat ini? Tuhan mau menunjukkan bahwa Dia bukan hanya bekerja dengan cara-Nya yang primer, spektakuler, dan “menggelegar”. Tuhan juga berbicara lewat sesuatu yang kecil, mungil, halus, dan biasa. Selama ini, mungkin kita terpaku pada hal-hal yang besar, heboh, dan luar biasa. Saat kejadian dan peristiwa di hidup terjadi demikian, kita baru bisa melihat sebagai karya Tuhan. Jika terjadi sebaliknya, kita bertanya-tanya dan menjadi kecewa. “Lho kok cuma gitu ya?”; “Kurang meyakinkan deh” atau “Kok nggak datang juga ya?”
Padahal Tuhan bukannya diam atau bertindak biasa-biasa saja. Dia menyatakan diri-Nya. Allah sudah menyapa dan menjawab. Namun, kita yang kurang peka. Kita mengabaikan dan melewatkan karya Tuhan. Kita terbiasa dengan konsep di kepala yang berpikir, Allah itu dahsyat! Maka harus dahsyat juga perwujudan-Nya.
Pernahkah kita bersyukur karena semalam bisa tidur nyenyak? Pernahkan kita bersyukur saat mencium aroma tanah yang basah tersirami hujan? Pernahkan diri kita bersyukur untuk matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya? Semua itu adalah tanda kehadiran Tuhan. Kejadian sederhana yang merupakan bentuk kesetiaan dan tanda pemeliharaan-Nya.
Atau kita masih menantikan yang dahsyat, besar, dan spektakuler? Seperti Indonesia turun salju? Lee Min Ho melamarmu? Badanku tiba-tiba kurus esok hari? Semua tugasku selesai sendiri? Bangun, bangun... Hoi bangun! Itu tandanya tidur terlalu miring.. Jadi miring semua, hahaha...
Anda bisa merasakan Tuhan berada di dalam angin sepoi-sepoi basa. Dia memelihara kesehatan Anda, memberi Anda tidur nyenyak walaupun sudah beberapa lama sulit tidur. Angin sepoi-sepoi basa bisa Anda rasakan dalam bentuk kesehatan dan sukacita. Terimakasih, ya Yesus...
Refleksi Diri:
Apakah saat ini Anda masih dan selalu menunggu Allah bekerja melalui hal-hal luar biasa dan dahsyat? Bagaimana melatih kepekaan Anda terhadap karya Tuhan?
Apa hal-hal sederhana dalam hidup yang bisa Anda lihat sebagai karya pemeliharaan Tuhan?